Paradigma Kesehatan Yang Membahagiakan Oleh : dr. Muhammad Bayumi

oleh
oleh
Share artikel ini

Banyuasin,||detikNews86.com-

Profesi dokter adalah profesi elit yang dipandang masyarakat luas pasti diikuti oleh kemapanan ekonomi. Para dokter pasti merasakan bagaimana mereka menjadi target pasar penawaran berbagai kredit atau asuransi yang nominalnya tidak sedikit. Espektasi masyarakat terutama keluarga terhadap profesi ini sangat tinggi. Tak heran jika berbondong-bondong para orang tua ingin menyekolahkan anaknya ke sekolah kedokteran. Meskipun, biaya yang harus dikeluarkan sangat fantastis.

Espektasi semakin tinggi ketika sang dokter hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan spesialis. Kali ini bukan hanya pengorbanan biaya. Waktu, relasi, harga diri, hingga kesehatan turut dikorbankan untuk mendapatkan gelar. Tekanan sosial mengantarkan pada tekanan kerja. Karena itu, para calon dokter spesialis rentan mengalami gangguan mental.

Teori tersebut dikonfirmasi oleh Kementerian Kesehatan yang melakukan skrining kesehatan jiwa pada 12.121 mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Skrining dilakukan di 28 rumah sakit vertikal pendidikan di Indonesia pada akhir Maret lalu. Hasilnya, 22,4% atau 2.716 peserta PPDS tercatat mengalami gejala depresi. Sebesar 1,5% atau 178 orang mengalami depresi sedang-berat, sedangkan 0,6% atau 75 orang terkena depresi berat (bbc.com, 17/4/24).

Data ini menjadi pukulan telak bagi sistem pendidikan kedokteran yang ada di Indonesia. Profesi mulia yang dibanggakan semua orang kini mendapatkan imej baru sebagai profesi yang dekat dengan gangguan mental. Tentu keadaan ini sangat disayangkan, sehingga perlu untuk digali lebih jauh penyebabnya.

Penyebab Tingginya Risiko Gangguan Mental

Dokter merupakan salah satu profesi dengan tingkat risiko kerja tinggi. Profesi ini berhubungan dengan penanganan kesehatan pasien dengan jam kerja yang sangat panjang. Apalagi jika ketersediaan dokter diwilayah itu terbatas. Beban kerja tinggi ini sangat dirasakan para dokter yang sedang menjalani pendidikan spesialis. Waktu jaga yang sangat panjang, tugas jurnal dan referat yang menumpuk untuk segera diselesaikan, belum lagi kecurigaan adanya praktik bullying di beberapa tempat semakin menambah beban residen.

Para dokter PPDS seringkali tidak bisa pulang bertemu keluarga dalam beberapa lama. Mereka juga dipusingkan dengan biaya pendidikan yang mahal sekaligus memikirkan keluarga mereka yang harus ditinggalkan tanpa pemasukan, karena sepanjang menempuh pendidikan dokter PPDS tidak mendapatkan kompensasi sama sekali.

Sebelum disahkannya UU kesehatan Omnibus Law, narasi mengenai kesejahteraan dokter PPDS sudah sempat menyeruak. Terutama perihal kondisi ekonomi para dokter yang tidak mendapatkan pemasukan saat pendidikan. Akan tetapi, UU baru tidak memberikan solusi yang lebih lanjut harusnya menjawab permasalahan gangguan mental para dokter PPDS ini.

Sistem Kesehatan dan Pendidikan Para Dokter

Fenomena gangguan mental pada dokter ini bermula dari cara pandang yang keliru terhadap kesehatan. Dalam sistem sekuler sekarang yang tidak mengikutkan agama dalam memandang permasalahan, kesehatan dianggap sebagai komoditas ekonomi yang diperjualbelikan layaknya barang dipasar. Karena pandangan ini, segala hal yang berhubungan dengan kesehatan turut diindustrialisasikan. Beberapa diantaranya asuransi kesehatan, alat kesehatan, dan tentu saja para tenaga kesehatan.

Dokter adalah ujung tombak dari pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan manapun. Dokter Lah yang memastikan terjadinya transaksi kesehatan. Wajar jika dalam sistem sekuler sekarang dokter dianggap sebagai bagian dari komoditas kesehatan. Sekolah kedokteran dibuka secara masif dengan biaya yang sangat fantastis. Praktis, yang bisa mengaksesnya hanyalah orang berduit.

Anggapan ini bergeser saat dokter memulai pendidikan profesinya. Sebagian yang turut berada di industri ini menganggap dokter PPDS adalah yang pasti mampu secara finansial. Mereka turut menormalisasi budaya senioritas dengan menuntut dokter PPDS dengan permintaan yang sifatnya materiil.

Besarnya biaya pendidikan ini turut membentuk cara pandang dokter dan calon dokter kepada pasiennya. Anggapan bahwa kesehatan adalah komoditas maka yang berhak mendapatkannya adalah yang memiliki akses berupa uang. Proses belajar yang sulit dan melelahkan tidak lagi menarik dan menyenangkan. Semangat belajar dan menempuh pendidikan tidak lagi diinspirasi oleh semangat menolong pasien atau memberikan kebermanfaatan untuk umat. Para dokter PPDS hanya berharap agar pendidikan segera berakhir dan gelar itu bisa mereka gunakan untuk balik modal.

Paradigma kapitalisme membentuk interaksi dokter-pasien yang penuh perhitungan. Mulai dari penetapan tarif serta penggunaan fasilitas medis akan turut dihitung dalam proses pelayanan. Tak jarang dokter dihadapkan pada dilema medis karena keterbatasan dana dan alat medis. Dalam menjalankan perannya itu tak jarang dokter dihantui pada risiko tuntutan pidana karena keputusan medis yang dibuatnya. Kembali lagi, dokter hanyalah komoditas di era kapitalis. Perlu disadari, dokter adalah manusia yang sangat wajar memikirkan kebutuhan hidupnya juga. Adalah satu hal yang aneh jika mempertanyakan kemanusiaan para dokter sementara diwaktu yang sama sistem kesehatan tidak memanusiakan mereka.

Islam dan Sistem Kesehatan

Telah mahsyur kita dengarkan bagaimana gambaran sistem kesehatan di masa kegemilangan Islam. Tidak dapat dipungkiri, Rasulullah saw. adalah inspirator utama kedokteran Islam.  Meski beliau bukan dokter, kata-katanya yang terekam dalam banyak hadis sangat inspiratif, semisal, “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw menginspirasi seluruh kaum muslimin untuk mencari ilmu bahkan hingga ke negeri yang jauh. Tujuan para ilmuwan mempelajari berbagai cabang ilmu adalah untuk beribadah kepada Allah, menjadi manusia yang bermanfaat, dan memudahkan umat untuk beribadah. Semangat ini menginisiasi lahirnya ilmuwan Islam yang bukan hanya ahli dalam satu bidang, tetapi menjadi ahli dalam berbagai disiplin ilmu (polymath).

Dunia Islam mengenal Ibnu Rusyd seorang polymath dalam bidang logika, filsafat, psikologi, geografi, matematika, sampai kedokteran. Dunia juga mengenal al biruni yang menguasai bidang matematika, fisika, farmasi, kedokteran, astronomi, geografi, kimia, mineralogi, geologi. Dalam bidang kedokteran, nama Ibnu Sina atau Avicena tak kurang terkenal. Ia menulis salah satu buku rujukan kedokteran itab Al-Qanun fi al-Tibb sekaligus seorang polymat di bidang filsafat, matematika, dan astronomi.

Inspirasi menuntut ilmu dari Rasulullah didukung dengan sistem politik yang menerapkan aturan Islam secara sempurna. Islam menjamin kebutuhan dasar manusia termasuk didalamnya para dokter. Pendidikan, kesehatan, dan keamanan menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara mendukung lahirnya para dokter berprestasi dengan sistem pendidikan yang berasaskan kepribadian Islam. Negara menjamin kesejahteraan dokter baik yang sedang pendidikan ataupun yang sudah berpraktik.

Syaikh Taqiyuddin An Nabhani menjelaskan dalam kitab Nidzomul Iqthishodi fil Islam Pekerjaan yang berupa jasa umum maka jasanya dianggap sebagai satu maslahat yang harus diusahakan oleh negara untuk semua orang. Terutama di bidang pendidikan dan kesehatan. Dokter adalah salah satu jasa yang dibutuhkan semua orang, sehingga negara akan menjadikannya jasa umum yang wajib disediakan oleh negara.

Islam membangun hubungan dengan dokter dengan paradigma pengurusan rakyat. Artinya, kesehatan bukanlah komoditas ekonomi yang diperjualbelikan antara rakyat dan dokter. Akan tetapi, kesehatan adalah satu kebutuhan yang wajib dipenuhi oleh negara yang transaksi ekonominya terjadi oleh negara kepada dokter. Dengan demikian, dokter akan dibebaskan dari beban ekonomi agar bisa fokus pada pelayanan kesehatan yang paripurna.

Inilah paradigma mendasar tentang kesehatan dalam Islam. Sebuah perubahan selalu dimulai dari perubahan pemikiran. Sudah saatnya tenaga kesehatan terutama dokter berbedah mulai dari asas berpikir mengenai hak asasi kesehatan umat. Perlu disadari, tidak ada pengurusan yang paling ideal kecuali dikembalikan kepada pemilik kesempurnaaan yaitu Allah Swt.

 

(Red.)