Penulis : Muhammad Syarif, S.Pd.I, MA [Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Serambi Mekkah – Mahasiswa S3 Fiqh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh]
Kita patut mengapresiasi terkait Bank Indonesia (BI) menggelar Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Sumatera 2022 di Kota Banda Aceh, ini sebagai langkah untuk menuju puncak kegiatan ISEF (Indonesia Sharia Economic Festival). FESyar ini merupakan wujud implementasi sinergi dan koordinasi BI dengan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah dan kementerian/lembaga seperti Kementerian Agama, Otoritas Jasa Keuangan dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah.
Festival yang mengangkat tema; “Sinergi Ekonomi dan Keuangan Syariah untuk Memperkuat Pemulihan Ekonomi Sumatera yang Inklusif”dilaksanakan dalam berbagai kegiatan strategis untuk mendorong akselerasi ekosistem ekonomi dan keuangan syariah di Provinsi Aceh, antara lain Sharia Economic Forum dan Sharia Fair yang mencakup beberapa agenda seperti talkshow, webinar, dan berbagai kegiatan untuk mendukung peningkatan kapasitas dan kapabilitas pelaku usaha syariah.
Tentunya ini merupakan strategi pengembangan yang inovatif dan kreatif yang harus didukung demi upaya meningkatkan daya saing global bidang ekonomi dan keuangan syariah.Bahkan di Aceh khususnya, semenjak disahkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah, yang mengamanatkan kepada seluruh Lembaga Keuangan di Aceh untuk dapat menerapkan sistem keuangannya berdasarkan prinsip syariah tentunya.
Tulisan ini sebenarnya tidak sedang dalam mengulas tema penguatan ekonomi syariah tersebut, bukan itu yang ingin penulis ulas disini. Namun ini tentang Peh Rapa’i pada saat pembukaan Festival Ekonomi Syariah (FESyar) 2022 di halaman Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, Kamis (4/8/2022). Di mana, halaman masjid juga menjadi bahagian dari masjid itu sendiri.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, lokasinya bukan masjid cilet-cilet di pelosok gampong disana, namun langsung di halaman masjid megah kebanggaan masyarakat Aceh, Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di pusat Peradaban Masyarakat Aceh ibu Kota Provinsi Aceh, yang sedang menerapkan Syariat Islam secara Kaffah.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Rapa’i merupakan alat musik tradisional Aceh. Di antara alat-alat musik yang lain adalah serune kale, biola, gitar, harpa, keyboard, piano. Mungkin alur berfikirnya, karena Rapa’i merupakan alat musik dan ciri khas budaya Aceh, maka silakan di peh peh dimana saja, termasuk di lingkungan masjid Raya Baiturrahman, dan tetap bernuansa Islami di Negeri Syariat ini. Tapi kalau ke depanya main biola, gitar atau keyboard dengan diringi nasyid atau lagu bernuansa religius di halaman masjid, apakah itu boleh juga, kan sama-sama alat musik, sebagaimana rapa’i. Artinya, rapa’i sama seperti alat musik lainnya yang alat music tersebut kita anggap sangat tidak etis atau bahkan bertentangan dengan etika Islam jika dimainkan di lingkungan masjid.
Namun, entah siapakan yang menggagas, mengusulkan atau memerintahkan penampilan tarian tradisional Rapa’i Geleng di halaman (lingkungan) Masjid Raya Baiturrahman pada acara pembukaan Festival Ekonomi Syariah Sumatera tersebut. Padahal masih cukup banyak lokasi-lokasi lain untuk Peh Rapa’i, misalnya di Blang Padang, Stadion Harapan Bangsa, Taman Sari, atau dimana saja yang memungkinkan, tapi bukan dalam lingkungan masjid, apalagi Masjid Raya Baiturrahman.
Menurut pendapat Imam An-Nawawi asy-Syafi’i, “bahwa yang dimaksud dengan halaman masjid adalah areal yang melekat pada bangunan masjid dan berada di dalam pagar masjid. Halaman masjid semisal ini adalah bagian dari masjid. Dengan tegas Imam Syafi’i mengatakan sahnya iqtikaf di halaman masjid semisal ini” (al Majmu’ 6/507). Ini maksudnya; jika halaman masjid tersebut bersambung dengan masjid dan berada di dalam pagar masjid maka halaman masjid tersebut adalah bagian dari masjid. Sebaliknya, jika halaman tersebut tidak bersambung dengan masjid dan tidak berada di dalam pagar masjid maka halaman tersebut bukanlah bagian dari masjid.
Halaman Masjid Raya Baiturrahman sendiri memang digunakan juga untuk shalat, apalagi disaat bagian dalamnya sudah penuh, maka para jamaah akan shalat di bagian bawahnya (halaman), semisal shalat dua hari raya, shalat jum’at dan shalat taraweh di bulan Ramadhan. Karena masjid merupakan salah satu tempat yang disucikan dan diagungkan dalam Islam, tentu kita harus memiliki adab, etika dan aturan ketika memasuki atau berada di lingkungannya. Dalam Alquran surat An-Nur ayat 36 dijelaskan bahwa “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”.
Menurut Imam Jalaluddin As-Suyuti, seseorang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu di dalam masjid dilarang secara keras (tidak boleh), bahkan perilaku tersebut dikategorikan bid’ah dan sesat. Di antaranya adalah menari, menyanyi di dalam masjid, memukul duf (rebana) atau rebab (sejenis alat musik), atau selain itu dari jenis-jenis alat musik. Maka, barang siapa yang melakukan itu di masjid, termasuk mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang sesat, sehingga patut baginya diusir dan dipukul, karena dia telah meremehkan perintah Allah untuk memuliakan masjid”. (Imam Jalaluddin As-Suyuti, Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, hal. 275)
Masjid sebagai tempat orang melaksanakan ibadah shalat, dzikir dan mengaji, tentu tidak selayaknya digunakan untuk memainkan alat musik seperti Peh Rapa’i di halaman masjid Raya Baiturrahman Kota Banda Aceh, sekalipun pertimbangan mengandung nilai religius, bernuansa islami, atau mengangkat nilai seni budaya Aceh, tapi hendaknya tidak dilakukan di lingkungan atau halaman masjid. Demikian. [Opini]