DetikNews86.com–Takengon | Mahlil (45 tahun) menggenggam dua sisi setir berlogo tiga lingkaran kuat-kuat. Suara mesin berkapasitas 2.000 cc meraung. Mahlil tak mengalihkan pandangan dari jalan sempit berlumpur yang harus dilewatinya. Dia menekan pedal gas dalam-dalam. Kendaraan itu terlihat seperti meloncat.
Mahlil adalah sopir di Dinas Pendidikan Aceh. Siang itu, Sabtu, 27 Agustus 2022, dia ditugaskan untuk membawa rombongan dari kantornya ke Sekolah Dasar 10 Linge, di Desa Jamat, Kecamatan Linge, Aceh Tengah. “Jalan ini lebih parah daripada jalan ke Pameu,” kata Mahlil.
Selama dua hari berturut-turut, sejak Jumat, pegawai Dinas Pendidikan Aceh berkunjung ke dua desa terpencil di Aceh Tengah itu. Rombongan dipimpin oleh Alhudri, Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Dia membawa serta sejumlah kepala bidang dan kepala cabang dinas dalam perjalanan itu. Mahli adalah salah satunya.
Perlu waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai ke Pameu. Desa ini berjarak sekitar 24 kilometer dari Kecamatan Geumpang di Pidie. Di kampung ini, Dinas Pendidikan Aceh membuka kelas jarak jauh untuk mendekatkan akses ke sekolah bagi warga di desa itu.
Saat ini, tercatat 31 siswa di sekolah jarak jauh. Kelas satu terdiri dari sembilan murid, kelas dua 15 murid dan kelas tiga 5 murid. Murid-murid ini bersekolah dengan memanfaatkan bangunan balai desa. Dengan bantuan masyarakat dan tetua kampung Pameu, balai desa itu dibagi menjadi tiga kelas bersekat triplek. Pada perayaan hari-hari besar, sekat kelas itu terpaksa dibongkar karena balai desa digunakan untuk acara lain.
“Kelasnya sempit. Kalau hujan, kami kena tempias hujan,” kata Rohana, pelajar kelas satu.
Seluruh guru di sekolah ini didatangkan dari SMA Negeri 19, Angkup. Jumlahnya 12 orang. Mereka harus berkendara sekitar 1,5 jam dari Angkup. Sebagian besar guru-guru yang mengajar di kelas jarak jauh itu menggunakan sepeda motor.
Karena itu, dalam pertemuan di sebuah rumah warga, Alhudri menawarkan kerjasama kepada istri prajurit TNI yang tinggal di asrama Kompi Senapan D, Yonif RK 114/SM Pameu, yang memiliki latar belakang pendidikan guru, untuk mengajar di sekolah jarak jauh itu. Sehingga guru-guru yang mengajar di SMA jarak jauh itu juga dibantu dari asrama kompi yang berjarak beberapa kilometer dari balai desa itu.
Tawaran ini disampaikan langsung kepada komandan kompi tersebut, Kapten Inf Raswan. Dia menyanggupi. Raswan juga menyatakan siap membantu pembangunan SMA pertama di Pameu.
Semangat untuk memiliki SMA yang representatif di daerah itu tergambar jelas saat warga menghibahkan tanah seluas satu hektar kepada Pemerintah Aceh. Mereka berharap di atas lahan ini Dinas Pendidikan Aceh dapat mendirikan sekolah untuk pendidikan anak-anak mereka.
Semangat yang sama juga ditunjukkan oleh warga di Jamat. Masyarakat di tempat kelahiran pejuang pada masa penjajahan Belanda itu, Aman Nyerang, berharap Pemerintah Aceh segera mendirikan bangunan SMA di kawasan itu.
Alhudri memahami benar permintaan warga. Dia menyatakan tekad untuk mendekatkan sekolah ke rumah siswa. Dengan demikian, anak-anak dapat terus mendapatkan pendidikan, sesuai jenjang, dan tetap bersama orang tua mereka setelah jam pelajaran berakhir.
Alhudri meyakinkan warga yang hadir pada dua pertemuan terpisah itu untuk tidak buru-buru membangun sekolah. Alhudri mengatakan membangun sekolah itu adalah urusan mudah. Namun memastikan sekolah-sekolah itu berfungsi dengan baik, adalah persoalan kompleks.
Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mendirikan sekolah dan memastikan uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dimanfaatkan sebaik-baiknya.
“Di Sikundo (Aceh Barat) terdapat bangunan SD. Bagus, lengkap dengan sejumlah fasilitas. Namun sekolah itu akhirnya terbengkalai karena tidak ada siswa,” kata Alhudri.
Alhudri mengatakan pendidikan adalah hak semua anak. Anak-anak Aceh tidak kalah cerdas dari anak-anak di daerah lain. Tugas para pendidik saat ini adalah memastikan kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu dapat dijangkau oleh anak-anak usia sekolah. Sehingga mereka bisa meraih masa depan, seperti yang mereka damba-dambakan.
Alhudri juga hakul yakin sekolah adalah tiket bagi anak-anak di kampung itu untuk mengenyam pengalaman lebih baik.
Seperti di banyak daerah terpencil, fenomena kawin muda marak karena, selepas SMP, anak-anak tidak lagi melanjutkan pendidikan; tidak ada SMA di daerah mereka.
“Masa depan bangsa ini tergantung pada anak-anak hari ini. Baik atau buruk mereka ditentukan oleh pendidikan yang mereka kenyam”. [KPA]