Jakarta detiknews86 com, Pakar Hukum Pidana Prof. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H terkait kasus yang dilaporkan Freddy Widjaja ke Bareskrim, yang hingga saat ini masih berproses.
“Yang penting legal standingnya jelas (terkait pelaporan), kalau legal standingnya jelas, negara (lembaga hukum) juga cepat (memproses),” ujar Prof Hibnu kepada wartawan di Jakarta, Rabu 30 November 2022.
“Kemudian yang kedua, bukti cukup atau tidak? Karena namanya pelapor, kita dari sudut pelapor ya. Bukti dari pelapor harus lengkap dulu, karena jangan sampai menunggu polisi untuk melakukan sesuatu pengumpulan barang bukti, ini posisi harus terang lho. Kalau seperti itu memang agak lama,” ungkapnya.
Prof Hibnu Nugroho yang juga Guru Besar Hukum Acara Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) menambahkan, bahwa soal transparansi harus jelas dan pelapor harus aktif.
“Untuk transparansi, sebetulnya ada waktu bagi siapa pun pelapor untuk segera menanyakan, ada namanya SP2HP, surat perkembangan hasil penyelidikan, penyidikan, itu bagian dari transparansi penyidik,” pungkasnya.
Sebelumnya empat orang anak pendiri Sinarmas Group dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana pemalsuan identitas.
Diketahui laporan tersebut dibuat oleh salah satu anak pendiri Sinarmas Eka Tjipta Widjaja, Freddy Widjadja dengan didampingi oleh pengacara hukumnya Kamaruddin Simanjuntak membuat laporan ini pada Senin 21 November 2022.
“Membuat Laporan Polisi atas tindak pidana pemakaian KTP, KK, dan Paspor yang diduga ASPAL (Asli Tapi Palsu) atas nama Indra Widjaja, Franky Oesman Widjaja, Muktar Widjaja, dan Oei Tjie Guan alias Teguh Ganda Wijaya,” kata Kamaruddin Simanjuntak kepada wartawan, Senin 21 November 2022.
Dijelaskan Kamaruddin, keempatnya masih mengemban status sebagai WNA asal Tionghoa dan seluruhnya, terlibat tindak pidana pemalsuan identitas berupa KTP, KK, dan juga Paspor.
Selain itu, Kamaruddin juga meminta kepada Bareskrim untuk membuka kembali kasus pemalsuan akta kelahiran para terlapor yang penyelidikannya berhenti pada 18 Oktober lalu lantaran tidak ditemukannya unsur pidana.
Para terlapor terancam pasal 93 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang memalsukan surat dan atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan peristiwa kependudukan dengan ancaman pidana 6 tahun penjara jo pasal 263, 264, dan 266 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemakaian dan pemalsuan Akta Otentik junto pasal 55 KUHP. (tim)