DETIKNEWS86.COM, KUTACANE
Pemerintah Kabupaten Aceh Tenggara melalui Dinas Pertanian melakukan sosialisasi Rekomendasi Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (RPLP2B) tahun 2023, Jum’at (8/9/2023).
Sosialisasi diikuti Tim Teknis LP2B dilaksanakan di Ruang Aula SMKN 2 Kutacane. Hadir, PLT Sekda Aceh Tenggara Yusrizal, ST, Asisten Ekonomi dan Pembagunan, dan unsur Forkopimda dan Anggota DPR RI Komisi 4 Muhammad Salim Fachry, SE, MM.
Hadir diantaranya, perwakilan Dandim 0108 Agara, perwakilan Kapolres, perwakilan Kajari, perwakilan Ketua Pengadilan Negeri Kutacane, perwakilan MPU, Asisten Perekonomian dan Pembangunan, Zulkarnaen, Kadis Pertanian, Riskan.
Juga turut hadir, perwakilan Kadis Pertanian dan Perkebunan Aceh, dan Direktur PPL Kementan RI, Baginda Siagian yang hadir secara daring. Juga turut dihadiri Koordinator Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), para Camat dan Tim Ground Check LP2B Aceh Tenggara.
Plt Sekda Kabupaten Aceh Tenggara, Yusrizal ST dalam sambutanya menyampaikan, pada tahun 2016, Kabupaten Aceh Tenggara sudah menerbitkan Qanun Nomor 14 tentang Perlindungan Alih Fungsi Lahan Pertanian. Sebagai pedoman, juga akan diikuti dengan penerbitan Peraturan Bupati tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sebagai instrumen penting melengkapi dasar hukum perlindungan lahan.
“Kegiatan ini sangat penting, sebagai salah satu wujud perlindungan terhadap alih fungsi lahan pertanian pangan. Untuk itu, dibutuhkan dukungan Kementerian Pertanian untuk identifikasi lahan baku sawah, pengecekan lapangan, pengisian data, atribut, dan seluruh data informasi tersebut harus dapat disajikan peta hamparan,” ujar Yusrizal menambahkan.
Anggota Komisi IV DPR RI, H.M. Salim Fakhry menambahkan, Aceh Tenggara merupakan salah satu lumbung pangan yang harus dipertahankan. Sehingga harus diberikan kepastian hukum agar ketersediaan lahan pertanian pangan yang berkelanjutan tetap terjamin. Dengan tetap menjamin kesejahteraan petani.
“Alih fungsi lahan tentu sangat berpengaruh terhadap masyarakat petani dan akan mengganggu stabilitas ketersediaan komoditi pertanian pangan di Aceh Tenggara. Maka harus dilakukan langkah-langkah konkret dalam terlindungi kesejahteraan petani,” ungkap Salim Fakhry yang juga menyebutkan, untuk mewujudkan keberlanjutan pertanian pangan, dibutuhkan peran aktif dan dukungan pemerintah daerah. Juga membutuhkan dukungan para pihak terkait seperti halnya dinas pertanian dan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP).
Kepala Dinas Pertanian Aceh Tenggara, Riskan, SP mengatakan terkait keberlanjutan lahan pertanian pangan di Aceh Tenggara telah dibentuk Kelompok Kerja Perlindungan Lahan Pertanian Pangan (LP2B). Sehingga ke depan Tengah dipersiapkan rancangan peraturan bupati tentang perlindungan lahan yang di antaranya akan menjamin kepastian hukum atas lahan pertanian Masyarakat.
“Pokja LP2B telah terbentuk dan saat ini kami sedang mempersiapkan rancangan peraturan bupati tentang perlindungan lahan. Sehingga lahan pertanian masyarakat nantinya lebih memiliki kepastian hukum,” tandas nya.
Kemudian menurut Alumni Kampus Investasi Kementrian Investasi/BKPM, Abdul Razak, SE menyampaikan, bahwa Persyaratan dasar perizinan berusaha adalah Pertama Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Yang Dulu Bernama Izin Lokasi Merupakan Salah Satu Persyaratan Dasar Yang Wajib Dipenuhi Oleh Seluruh Pelaku Usaha Dalam Rangka Memperoleh Perizinan Berusaha.
Kedua, Persetujuan Lingkungan adalah setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan hidup berupa:
- Analisis dampak lingkungan (Amdal);
- Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL), atau
- Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL).
Ketiga, PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung. Sementara SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh pemerintah daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
Semenjak diberlakukannya kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang (KKPR) sangat penting. Pasalnya, KKPR merupakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana detail tata ruang (RDTR).
“Bahwa melalui sistem KKPR itu pemanfaatan ruang tidak bisa dilakukan di sembarang tempat. Sebab, sudah dipetakan melalui sistem wilayah-wilayah yang diperbolehkan dilakukan pembangunan untuk kegiatan berusaha ataupun non berusaha.,” paparnya.
Sehingga, kata Alumni Kampus Investasi Kementrian Investasi/BKPM ini, “lahan-lahan yang memang harus dilindungi tetap bisa terjaga. Seperti, lahan-lahan pertanian yang menjadi penunjang ketahanan pangan.”
Semenjak dikeluarkannya Surat Edaran Bersama (SEB) Nomor 973/1030/SJ; Nomor SE-1/MK.07/2022; Nomor 06/SE/M/2022; dan Nomor 399/A.1/2022 tentang Percepatan Pelaksanaan Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung.
Dan kemudian pada PP 16/2021, daerah sesungguhnya sudah dapat amanat untuk mengubah IMB menjadi PBG paling lama 6 bulan sejak PP diundangkan atau pada 2 Agustus 2021. Namun banyak Pemda yang tidak mematuhi perintah PP tersebut termasuk Pemkab Aceh Tenggara.
PBG harus dilakukan pada lokasi yang sesuai dengan ketentuan RDTR yang mengacu pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 2021 dan Pasal 32 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 serta Pasal 24 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 yang mengamanatkan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk menyelesaikan peraturan Bupati/Wali kota tentang RDTR yang diselesaikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Pemerintah diundangkan (2 Februari 2022).
Maka untuk percepatan penerbitan PBG
seluruh Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota agar segera menerbitkan Peraturan Kepala Daerah tentang RDTR.
“Jadi seharusnya ada petanya yang terkoneksi melalui sistem, jadi ada penataan ruang dimana saja yang bisa dilakukan pembangunan sesuai peruntukannya. Jika dalam petanya wilayah ruang pertanian atau hutan, maka tidak akan bisa untuk usaha, jika tetap berdiri maka dipastikan ilegal,” jelasnya.
“Sampai saat ini regulasi Qanun RDTR Kabupaten Aceh Tenggara belum ada, jadi kegiatan pembangunan untuk kegiatan berusaha ataupun non berusaha via Aplikasi OSS-RBA termasuk penerbitan KKPR akan lolos tampa hambatan, sehingga banyak lahan-lahan teralih fungsikan berdiri bangunan usaha dan hunian masyarakat”, pungkasnya
[ADY]