Akbar Mempertanyakan Kapasitas Psikolog Klinis Sebagai Ahli Dalam Kasus Pidana

oleh
oleh
Share artikel ini

Makassar, Detiknews86.com-

Akbar SH, kuasa hukum terdakwa Firman yang diduga pelaku tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi di Kec. Sinjai Timur Kab. Sinjai sedang menjalani Proses Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Sinjai.

Akbar mendatangi UPT. Perlindungan Perempuan dan Anak Provinsi Sulawesi-Selatan pada tanggal 31 Oktober 2024, dengan melayangkan surat klarifikasi yang di tunjukan langsung Kepala UPT PPA Provisi Sul-Sel Jalan letjen Hartasning VI/NO 1, Makassar

Akbar menyampaikan ” pertemuan pada tanggal 31 Oktober 2024 di UPT PPA Provinsi Sul-Sel untuk mengklarifikasi terkait hasil Pemeriksaan Psikolog Klinis UPT PPA terhadap anak HSH yang menurut kami ada kejanggalan dalam pemeriksaan Psikologis anak NSH”.Ujarnya Sabtu(2/11/2024)

Lanjut Akbar, Proses pemeriksaan yang dilakukan Psikolog UPT PPA terhadap anak NSH hanya dilakukan selama kurang lebih 3 jam dengan menggunakan tiga metode, yakni observasi, wawancara, dan pemberian alat tes. Berdasar tiga metode dengan waktu yang relatif singkat tersebut, Psikolog Klinis membuat kesimpulan bahwa anak NSH telah mengalami traumatik berat”.

Akbar menilai bahwa pengambilan kesimpulan yang dilakukan oleh Psikolog Klinis bersifat prematur. Di samping itu, Psikolog Klinis telah melampaui kapasitasnya dalam proses hukum ini, seperti yang diketahui bahwa Psikolog Klinis hanya berfokus pada penanganan gangguan kesehatan mental, keterlambatan perkembangan psikologis, dan gangguan penyesuaian diri. Sementara, yang seharusnya dilibatkan lebih jauh dalam kasus ini yakni Psikolog Forensik yang memang berfokus pada asesmen dan intervensi dalam proses hukum.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami melihat bagaimana Psikolog Klinis tersebut melakukan pemeriksaan dengan cara yang tergolong remeh untuk mengambil suatu kesimpulan yang tentunya berkaitan dengan masa depan dan nama baik seseorang, dan hasil pemeriksaannya tersebut menjadi satu bukti yang menjadi dasar dibukanya suatu kasus yang sebelumnya telah dihentikan karena kurangnya alat bukti, maka patut dipertanyakan mengenai pengetahuannya terkait dengan kepentingan hukum. Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis dikatakan bahwa Dalam hal melakukan pemeriksaan yang berkenan dengan kepentingan hukum, maka Psikolog Klinis harus memperoleh pengetahuan khusus paling sedikit meliputi pemahaman hukum pidana dan perdata serta pemahaman keterkaitan antara praktik psikologi klinis untuk kepentingan hukum pidana dan perdata. Setidaknya, mengenai hal ini harus didukung dengan bukti keikutsertaan dalam kegiatan ataupun pelatihan yang berorientasi pada pengetahuan mengenai hukum pidana dan perdata.

Dalam kasus ini, Akbar juga mempertanyakan integritas Psikolog Klinis yang bersangkutan, dengan mengacu pada Pasal 13 Peraturan Dewan Kehormatan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Nomor 01/Per/DK/IPK-Indonesia/IV/2022 Tentang Kode Etik Tenaga Psikologi Klinis Indonesia yang menyatakan bahwa Tenaga Psikologi Klinis wajib menggunakan asesmen dan intervensi psikologi klinis sesuai kompetensi, kewenangan, dan peraturan yang berlaku”. Tegasnya

(D2n)