Antara Aceh Hebat dan Bereh, Aceh Kembali Jadi Juara Termiskin di Sumatera

Share artikel ini

Detiknews86, Banda Aceh | Triliunan rupiah dana otonomi khusus ditambah dengan berbagai sumber lainnya yang dialokasikan untuk provinsi Aceh ternyata tidak mampu membuat Aceh semakin hebat dan berkembang pesat. Alhasil, kini Provinsi Aceh kembali menunjukkan kehebatannya dengan bertengger sebagai daerah termiskin di Sumatera.

“Alokasi anggaran yang begitu besar untuk Aceh selama ini ternyata justeru tak mampu dikelola dengan baik atau bisa dikatakan masih salah urus, sehingga triliunan dana Otsus dan sumber anggaran lainnya di Aceh hanya dinikmati oleh segelintir orang dan belum begitu menyentuh masyarakat menengah ke bawah,” kata Ketua Yayasan Aceh Kreatif, Delky Nofrizal Qutni, Selasa (16/02/2021).

Secara jelas, kata Delky, BPS telah merilis bahwa pada September 2019 tahun lalu sebelum terdampak COVID-19, kemiskinan Aceh sebesar 15,01%, kemudian turun pada Maret 2020 (menjadi) sebesar 14,99%, dan September 2020 dengan adanya pandemi COVID-19 tidak hanya di Aceh tapi juga nasional, kemiskinan Aceh meningkat menjadi 15,43%.

Pada september 2020 sebanyak 833,91 ribu orang. Jumlah itu bertambah 19 ribu orang dibandingkan Maret 2020 yakni 814,91 ribu orang. “Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Aceh masih gagal dalam mengelola uang yang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lagi-lagi Aceh hanya berhasil menjadi provinsi dengan predikat kemiskinan tertinggi. Apakah pemerintah Aceh kembali mau mengelak, bahkan mengatakan data BPS itu tidak benar. Padahal, jelas-jelas faktanya pemerintah Aceh terlalu banyak terbuai lalai dengan program-program yang cenderung hanyalah pemborosan anggaran dan menghamburkan uang rakyat.

“Output dan outcome nya tidak maksimal menyentuh kepentingan real masyarakat. Contoh kecilnya ya gerakan bagi-bagi masker yang operasionalnya jauh lebih mahal dari masker yang dibagikan, belum lagi segudang contoh lainnya yang jelas-jelas hanya untuk mempoya-poyakan uang rakyat,” sebutnya.

Peningkatan kemiskinan di Aceh saat kondisi masa Covid-19 tersebut tentunya berbanding terbalik dengan besarnya alokasi anggaran BTT yang mecapai ratusan milyar dan refocusing APBA untuk penanganan Covid-19 yang mencapai 2,3 Triliun Rupiah. “Kita bisa lihat berapa persentasenya yang menyentuh masyarakat, berapa tinggi yang terindikasi Mark up danĀ  rasional penggunaannya,” terangnya

Belum lagi, ungkap Delky, perputaran uang Aceh terlalu banyak keluar sehingga effect ekonomi di kalangan bawah sangat lah kecil. “Sebagai contoh, dari banyak paket APBA atau APBK dikerjakan oleh perusahaan luar, pajaknya keluar, perputaran uang hasil yang di dapat pengusaha-pengusaha itu juga keluar, apalagi pengusahanya tinggal di luar Aceh”.

“Maka perputaran uangnya tentu keluar, sehingga perputaran uangnya tidak di Aceh. Alhasil, daya beli melemah, perputaran uang di tataran pedagang lokal minim, harga jual hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan menurun dan pedagang lokal pun turut kewalahan,” jelasnya

Lanjut Delky, program yang dilaksanakan oleh Pemerintah yang belum optimal secara output dan outcome kepada masyarakat. “Jadi, banyak hal yang harus segera di evaluasi dan diperbaiki agar paparan visi-misi Aceh Hebat itu bukan hanya sebatas di atas kertas. Jika pemerintah Aceh tidak segera berbenah, maka kepemimpinan Gubernur Aceh saat ini tidak akan mewujudkan Aceh Hebat dan Bereh, namun justeru menjadikan rakyat Aceh melarat, ” tambahnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, jika dilihat dari dokumen konsultasi Bappeda Aceh untuk tahun 2021 yang dikeluarkan pada tahun lalu itu memang sudah mengarah pada sektor ekonomi real dan pemulihan ekonomi.

Apakah itu akan berjalan? dari besaran alokasi anggaran yang dialokasikan pada tahun 2021, seberapa besar persentasenya untuk sektor-sektor yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat seperti UMKM, pertanian, perikanan, perkebunan, dan sektor lainnya.

Lalu baru kemudian apakah disaat realisasi nanti akan mampu menyentuh masyarakat menengah kebawah atau justru tetap dinikmati oleh segelintir elit dan kalangan menengah ke atas. Ini harus benar-benar dipantau. kata koordinator Solidaritas untuk Rakyat Daerah Terpencil (SuRaDT) itu.

Sambungnya, Pemerintah Aceh terus berupaya mengalokasikan anggaran untuk kegiatan fisik yang belum tentu berdampak kepada ekonomi dan kebutuhan real masyarakat, sementara plot anggarannya besar.

“Maka dapat dipastikan pemerintah belum hijrah ke prilaku lebih baik. Asumsinya jika yang menjadi fokus pemerintah Aceh adalah infrastruktur besar tanpa dampak maksimal kepada masyarakat, itu adalah bentuk pemborosan uang rakyat,” ucapnya.

Aceh Kreatif berharap, disisa kepemimpinannya, Gubernur Nova Iriansyah agar lebih serius dan fokus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dengan mengoptimalkan sektor produktif baik itu di bidang pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan, dan memaksimalkan sentuhan untuk menyokong keberadaan UMKM lokal di Aceh.

“Kita yakin Pak Gubernur dan stakeholder lainnya tidak ingin mengukir sejarah buruk di Aceh yang akan menjadi catatan dan ingatan bagi generasi-generasi berikutnya, sehingga evaluasi dan pembenahan secara maksimal mesti dilakukan, “pintanya.

“Gubernur harus bekerja lebih maksimal untuk itu dan tidak boleh terlalu lama terbuai seremonial. Jangan sampai sejarah mencatat, di bawah kepemimpinan Nova Iriansyah, Aceh Hebat menjadi Aceh Melarat apalagi menjadi Aceh sekarat,” tutupnya (KPA)