Muara Enim – [detiknews86.com] – Oknum Tenaga Kerja Asing(TKA)Lakukan Tindak Kekerasan Terhadap bawahan yang bekerja sebagai Driver sangat disayangkan bahwa atasan itu bertindak Arogan dengan memukul kepala korban RD
Mengabitkan luka dan lebam.
Tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja pada PT Sefco 3 yang merupakan salah satu subkon dari PT PGE Lumut Balai di duga melakukan tindak kekerasan terhadap bawahan
Kamis.09.00/6/2024
Korban RD 28 tahun yang bekerja sebagai driver mengalami luka di kepala dan lebam karena di pukul menggunakan alat pemukul helem TKA asal China Jiang Zang bekerja sebagai Fitter, keduanya nya bekerja di perusahan sefco 3 kejadian terjadi saat akan melakukan apel pagi.
Kemarin sy dapat laporan sudah damai di polsek.
Aku cuma dapat laporan dr kwan² di lapangan sudah damai pak dan ada berita acaranya.ucap Rian
Lebih lanjut Korban sudah tandatangan dan kerja kembali dan
sudah menerima maaf dari pelaku.
Kita tunggu dr manajemen mereka seperti apa responnya dulu. Sy blm dpt info dr tim di lapangan, krn posisiku lg dinas luar daerah.
Rian selaku humas PGE tidak mentolerir perbuatan yg melanggar aturan perusahaan seperti berkelahi, mabuk, obat²an terlarang dan membawa sajam.
Tentunya konsekusensinya akan dikeluarkan dari wilayah kerja PGE.
Si korban sy denger tidak akan menuntut apa² lg karena sudah menerima perdamaian dan beliau bisa lanjut bekerja kembali dan pelaku sudah keluar dr sini.
sudah damai dan tidak menuntut apapun.
Sudah ada sanksi yang dijatuhkan ke pekerja sesuai aturan.ucap Rian selaku humas PGE.
Sanksi bagi atasan yang melakukan kekerasan fisik atau verbal terhadap bawahannya, adalah ancaman pidana penjara dan/atau pidana denda sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 351, 352, 310, 311 KUHP.
Selain itu, bawahan yang bersangkutan dapat mengajukan PHK, dan mendapatkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai peraturan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Tenaker”).
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35”)
Kekerasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.[1]
Kekerasan bukan hanya ketika seseorang melakukan atau mengalami penyiksaan secara jasmani, tetapi juga ada kekerasan yang sifatnya verbal.
Kekerasan verbal adalah bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata, dengan tujuan untuk merusak mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai mempertanyakan intelegensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri.
[2] Kekerasan fisik maupun verbal bisa terjadi pada hubungan apapun, baik itu hubungan keluarga, hubungan antara atasan dan bawahan adalah hubungan ketenagakerjaan, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini yang akan dibahas adalah kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya dalam hubungan kerja. Dalam hal ini diasumsikan bahwa hubungan kerja antara atasan dan bawahan dalam hubungan kerja ialah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU Tenaker, adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Pemberi kerja diartikan sebagai orang perorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, sebagaimana hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 angka 4 UU Tenaker.
Berkaitan dengan hal sebagaimana di atas, bahwa pekerja/buruh sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 angka 3 UU Tenaker adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun yang dimaksud dengan pengusaha dalam Pasal 1 angka 5 UU Tenaker, adalah sebagai berikut:
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan milik sendiri;
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
( M.fajri)