Penguasa (pemerintah) semestinya sadar bahwa masa kepemimpinan serta kekuasaannya itu terbatas, dan mereka merupakan bagian dari rakyat yang sedang bertugas mengurus negara. Pemerintah bertanggungjawab menyejajarkan kepentingan rakyat dengan kepentingannya
Sejatinya hukum–secara sempit kita maknai sebagai peraturan perundang-undangan–dibentuk bukanlah untuk menjaga kepentingan politik kekuasaan dan atau kepentingan politik penguasa. Akan tetapi, hukum dibentuk oleh lembaga yang berdaulat untuk kepentingan ketertiban yang berkeadilan. Doktrin yang mengajarkan “perkataan raja (penguasa) adalah hukum” atau sejenisnya dalam kehidupan negara demokrasi konstitusional (seperti yang dianut di Indonesia saat ini) tidak dapat diaminkan.
Hukum memang tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan, dan kekuasaan juga tidak dapat dipisahkan dari hukum. Hal ini seperti, hukum tidak dapat dipisahkan dari politik, dan begitu sebaliknya, politik tidak bisa dipisahkan dari hukum. Selain itu, hukum juga tidak bisa dipisahkan dari moral, dan moral perlu terkadang dikonkritisasi dalam sebuah norma hukum. Tentang hal demikian, sungguh sangat luar biasa dengan perkataan Mochtar Kusumaadmadja yang mendengungkan; “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman.”
Hukum dibentuk untuk melindungi segenap hak-hak masyarakat, serta membatasi kekuasaan, terlebih-lebih membatasi kepentingan politik penguasa bukan melindungi kepentingan politik penguasa. Hukum sebagai batas kekuasaan bertujuan agar kekuasaan tidak absolut dan korup. Ada sebuah adgium yang terkenal dari Lord Acton; “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).”
Dalam penerapannya, jika disadari dan dijalankan dengan baik, maka hukum memerlukan sebuah kekuasaan untuk mendukungnya, tentunya agar tidak menjadi sebuah angan-angan sebagaimana yang dikatakan Mochtar di atas tadi. Akan tetapi perlu digarisbawahi bahwa hukum bukan untuk melindungi kepentingan politik kekuasaannya. Jika hukum telah membatasi kewenangan seorang penguasa (pemerintah), maka seharusnya pemerintah harus tunduk terhadap hukum. Fenomena memperpanjang periode presiden Jokowi yang beberapa waktu lalu sempat viral adalah sebuah bentuk kurang memahami pembatasan kekuasaan oleh hukum. Hal itu adalah sebuah wacana yang sangat konyol, bertentangan dengan hukum, bahkan mencoba melanggar konstitusi. Hal itu tidak patut untuk dicontoh, dari cara berpikir seperti itu adalah cara berpikir hanya untuk kepentingan politiknya saja.
van Apeldoorn (1976:68) menegaskan bahwa hukum itu sendiri adalah kekuasaan. Akan tetapi kekuasaan hukum di sini tentu berbeda dengan kekuasaan yang dipegang oleh seorang manusia. Saya sangat sependapat dengan Apeldoorn, memang sudah seharusnya hukumlah yang menjadi kekuasaan dan penguasa. Seperti dalam ajaran negara hukum (rechtsstaat atau rule of law) menyatakan bahwa; “The Rule of Law and not man: sesungguhnya pemimpin itu adalah hukum itu sendiri bukan orang.” Untuk membuktikan ia sebagai negara hukum, maka semua tunduk pada konstitusi, bukan pada seorang penguasa sebagaimana negara dalam konsep machstaat.
Negara hukum demokratis, memiliki dua kedaulatan yang bersintetis dan diintegrasikan menjadi satu. Kekuasaan tersebut adalah kekuasaan hukum dan kekuasaan rakyat. Kekuasaan hukum artinya kedaulatan didasarkan pada hukum (nomokrasi), dimana perundangan menjadi dasar penyelenggaraan negara. Konsep nomokrasi dikemukakan pertama kali oleh Plato dalam bukunya Nomoi.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi (2020:76-77) menjelaskan, hukum menjadi salah satu sumber kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia, dan moral). Maksud apabila hukum menjadi sumber kekuasaan maka menjalankan kekuasaan harus sesuai dengan hukum dan kepentingan hukum itu sendiri, bukan pada kepentingan penguasa. Rasjidi menambahkan bahwa, hukum dapat menjadi pembatas pemegang kekuasaan. Selain itu, kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat juga merupakan pembatas yang ampuh bagi pemegang kekuasaan.
Bagaimana dengan pembentukan hukum (Undang-Undang) saat ini di Indonesia? Ini adalah pertanyaan yang sangat menarik dibicarakan saat ini di Indonesia melihat perkembangan pembentukan UU yang sering mengundang kontroversi. Tidak sedikit pakar hukum yang melihat pembentukan UU cenderung untuk kepentingan politik segelintir orang, bahkan di sana tersirat sebuah kepentingan politik penguasa dan kroni-kroninya. UU yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat banyak, tidak bertentangan dengan konstitusi UUD NRI 1945 dan hak-hak konstitusional masyarakt, akan tetapi jauh dari harapan itu.
Banyak norma-norma yang dilanggar dalam pembentukannya, bahkan terjadi pemaksaan untuk memberlakukan sebuah UU (UU Cipta Kerja), dan yang terbaru adalah rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) memuat materi-materi dalam pasal yang kontroversial. Misalnya, menghidupkan kembali pasal yang telah dihapuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK); terkesan melindungi penguasa (pemerintahan) dan pejabat umum, yang pada intinya tidak sesuai dengan jalannya iklim demokrasi Indonesia ke depannya.
Bukan hanya dalam proses pembentukannya saja, penguasa sering kali menabrak aturan hukum yang berlaku. Misalnya bagaimana Presiden Jokowi melanggar norma hukum terkait pengangkatan seorang menteri, mengabulkan pemecatan hakim MK oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang tidak memiliki dasar hukum, dan tindakan administratif lainnya. Menurut saya ada semacam pemikiran bahwa; “kamilah yang membentukan atau membuat peraturan-peraturan, maka kami boleh melaksanakannya sebagaimana mau kami, atau sebagaimana penafsiran kami.” Ini adalah pemikiran yang kacau, seolah-olah terjadinya lagi perkataan mereka adalah hukum, dan perbuatan mereka kebal dengan hukum karena tidak mungkin hukum memberi sanksi kepada hukum, hukum (penguasa) boleh melanggar hukum.
Dalam fenomenanya, lembaga yang seharusnya membentuk hukum untuk kepentingan rakyat, tapi hukum yang mereka bentuk adalah yang menguntungkan penguasa dan oligarki. Ini perlu kita tegaskan, memang demikian faktanya. Jika ada personil penegak hukum yang menentangnya, maka personil penegak hukum tersebut siap-siap untuk dibuang. Hal ini terjadi pada hakim MK Aswanto. Di samping itu, terjadi juga lemahnya moral di dalam penegak hukum yang ditandai dengan berbagai kasus korupsi.
Penguasa (pemerintah) semestinya sadar bahwa masa kepemimpinan serta kekuasaannya itu terbatas, dan mereka merupakan bagian dari rakyat yang sedang bertugas mengurus negara. Pemerintah bertanggungjawab menyejajarkan kepentingan rakyat dengan kepentingannya. Dalam segi hukum pun harus diberlakukan asas equality before the law. Sehingga impian untuk menciptakan negara kesatuan dan kesejahteraan yang adil dan beradab benar-benar terwujud. Dalam konteks legitimasi, hubungan antara pemerintah dengan rakyat lebih ditentukan pada keputusan rakyat untuk menerima atau menolak kebijakan yang ditetapkan oleh sang penguasa. Prinsipnya, pemerintah sebagai pelayan rakyat semestinya bertindak benar agar rakyat dapat merasakan kebermanfaatannya. Terciptanya hubungan timbal balik tidak akan terwujud bila pemerintah sendiri tidak berada pada jalan yang benar.