Banyywangi _ detiknews86.com
————–
Hasil hitung cepat Pilkada Banyuwangi menunjukkan bahwa Ipuk-Mujiono memperoleh suara 403,939 , Ali-Ali 370.864 suara dan Golput 551.379 suara. Jika disusun peringkat, maka peringkat teratas adalah Golput atau pemenangnya adalah Golput. Apa makna dibalik kemenagan Golput? Secara umum bisa dinyatakan bahwa legitimasi kekuasaan yang diperoleh melalui Pilkada saat ini sangat rendah. Total Golput pada Pilkada tahun ini mencapai 59,12% dari total hak pilih sebanyak 1.348.925 jiwa. Artinya lebih dari separuh masyarakat pemilik hak pilih tidak memberikan suaranya pada Pilkada tahun ini. Fenomena apakah ini?
Ada beberapa kemungkinan tingginya Golput pada Pilkada tahun ini.
Pertama, masyarakat sudah mulai jenuh dengan agenda demokrasi atau Pemilu yang terjadi berulang-ulang dalam tahun yang sama. Pileg untuk memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, DPR RI, DPD RI dan Pemilihan Presiden, dilanjutkan dengan Pilkada. Banyaknya agenda demokrasi, tidak selalu disadari sebagai bagian penting dalam kehidupan bernegara oleh sebagian warga masyarakat. Ketidaksadaran ini menjadikan mereka apriori, bahkan sinis terhadap pelaksanaan Pemilu. Akibatnya banyak diantara mereka tidak hadir di TPS pada Pemilu, baik pada Pileg, Pilpres maupun Pilkada.
Kedua, tidak adanya Calon Kepala Daerah yang sungguh-sungguh mereka percaya, sebagai pemimpin yang dapat memenuhi harapan mereka. Diantara dua Calon Kepala Daerah di Banyuwangi, bukan merupakan pilihan mereka. Bagi Golput, bisa saja menganggap keduanya bukanlah pilihan yang mereka inginkan. Ipuk-Muiono bukan, Ali Maki-Ali Ruchi juga bukan. Keduanya bukanlah pilihan. Bagi mereka siapapun yang menang tidak dapat memenuhi harapan mereka. Hal itu karena visi-misi yang tidak sesuai atau figur keduanya yang tidak dapat diterima. Masyarakat saat ini memilik banyak sumber informasi.. Terhadap empat figure atau dua pasangan calon di atas, telah banyak data dan informasi mengenai track record, integritas (berakibat pada kemungkinan terjadinya KKN), kapabilitas, , dan banyak lagi yang menjadi variable penilaian.
Ketiga, Isu money politic. Isu money politik banyak menimbulkan kegelisahan di satu sisi, dan harapan bagi masyarakat di sisi yang lain. Bagi masyarakat dengan tingkat kesadaran politik yang tinggi, money politic dipandang sebagai kejahatan demokrasi. Mereka menentang keras namun tidak mampu menghentikannya. Sementara penyeleggara Pemilukada baik KPU maupun Bawaslu juga masih dianggap mandul. Bahkan dalam berbagai kasus, ada anggapan bahwa penyelenggara Pemilukada terlibat dalam permainan politik. Sampai pada level ini kegelisahan berubah menjadi keputusasaan. Keputusasaan akan mendorong mereka menjadi Golput. Tetapi pada sisi yang lain, masyarakat dengan tingkat kesadaran yang rendah sangat mengharapkan adanya “serangan fajar”. Harapan ini sangat menentukan kepada siapa pilihan dijatuhkan. Oleh karena tidak ada atau kecilnya serangan fajar, maka bagi warga masyarakat yang transaksional, tidak mau datang ke TPS. Bisa jadi mereka menunggu “serangan” hingga waktu pencoblosan berakhir. Ternyata yang ditunggu tak kunjung datang dan waktu memilih di TPS sudah habis. Aksi menunggu “serangan” ini bisa jadi suatu kemunduran demokrasi. Namun itulah realita yang seringkali tidak ideal.
Keempat, kepercayaan diri pendukung Ipuk berlebihan. Dengan hasil survey LSI yang menyatakan bahwa elektabilitas Ipuk mencapai 72% dan Ali-Ali 12% bisa jadi membuat mereka terlena. Dengan demikian mereka beranggapan “ditinggal tidurpun, Ipuk akan menang”. Kejadian ini banyak dipakai guyonan relawan Ipuk-Mujiono. Hal ini bisa memicu pikiran cerdik Tim Ali-Ali untuk menghembuskan anggapan “ditinggal tidurpun Ipuk menang”, sembari mendorong pemilihnya untuk terus berjuang untuk menang. Alhasil dengan 59,12% golput, Ali-Ali bisa memperoleh 47,87% dari total suara sah. Dengan selisih yang tidak terlalu banyak sebagaimana survey elektabilitas, pamor Ali-Ali masih dapat diperhitungkan.
Kelima, Mesin Partai tidak jalan. Yang tampak sibuk memberikan dukungan kepada Paslon, hanyalah beberapa orang pengurus DPC atau sebutan lain setingkat DPC. Hal itu disebabkan tidak diberikannya logistic untuk menggerakkan mesin partai. Beberapa tokoh partai telah menyampaikan hal ini. Tidak salah memang. Untuk menggerakkan roda organisasi butuh biaya yang cukup. Oleh karena itu jika pembiayaan tidak digelontorkan, maka pergerakan mesin partai akan sangat lambat, ngadat dan bahkan bisa macet.
Mengatasi Problem Legitimasi.
Jumlah Golput 551.379 orang atau setara dengan 59,12% adalah suatu tamparan bagi demokrasi di Banyuwangi. Saat ini dan lima tahun kedepan, kita memiliki Bupati yang dipilih hanya oleh 29,95% dari total warga yang memiliki hak pilih. Berarti bahwa kekuasaan Bupati hasil Pilkada 2024 memiliki legitimasi yang sangat rendah di bawah 30%. Bisa dibayangkan jika demokrasi langsung menghasilkan pemimpin yang dipilih kurang dari 30% pemilik suara, apakah cukup representative untuk memimpin suatu daerah?
Setengah juta jiwa lebih rakyat Banyuwangi yang tidak menentukan pilihannya pada Pilkada tahun ini bisa menjadi gelombang besar bagi Pemerintah Daerah, apabila mereka tidak dirangkul dan dilibatkan dalam Pembangunan. Oleh karena itu tantangan bagi Bupati ke depan adalah peningkatan partisipasi publik dan upaya meminimalisir permasalahan yang berpotensi menimbulkan reaksi publik yang berlebihan. Dengan demikian problem rendahnya legitimasi dapat diantisipasi dengan peningkatan partisipasi publik
Tim 81
(Willy)