DETIKNEWS86.COM | BANDA ACEH
Ketua Lemkaspa Samsul Bahri, M.Si mendesak pihak Polda Aceh untuk mengusut dugaan keterlibatan pihak UNHCR dalam kasus perdagangan penggungsi Rohingnya (Manusia Perahu) asal Myanmar dan Blanglades, kerab terdampar ke Aceh, Minggu (17/12/2023)
Kepada media Samsul menjelaskan, keberadaan para Imigran Suku Rohingnya terdampar ke Aceh tidak mungkin disebabkan oleh faktor konflik terjadi di Negara Myanmar. Namun ada dugaan praktek perdagangan manusia yang melibatkan oknum-oknum yang bekerja Lembaga-lembaga kemanusian Internasional.
“Dalam kasus ini saya menduga ada keterlibatan pihak UNHCR dalam memberikan fasilitas yang berupa kartu UNHCR kepada para imigran yang hendak diselupkan ke berbagai negara tujuan, termasuk Indonesia melalui jalur laut,” kata Samsul.
Hal ini terbukti kata Samsul, dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Polda Aceh terhadap para pengungsi yang hendak kabur ke Malaysia. Dari hasil pemeriksaan pihak keamanan Polda Aceh, mendapatkan kartu identitas UNHCR dimiliki oleh para Imigran Rohingnya dan Banglades.
“Jadi tidak masuk akal, kalau para pengungsi Rohingnya tersebut murni ingin mencari suaka di Negara lain atas dasar konflik. Nyatanya mereka sudah memiliki kartu identitas UNHCR sebelum tiba di Aceh, jadi aneh ini,” ungkap Samsul.
Maka dalam kasus demikian, pasti ada keterlibatan oknum-oknum yang bekerja di Lembaga UNHCR, yang berkedok membantu para pengungsi, justru merangkap sebagai sendikat perdagangan manusia lintas negara.
“Kita meminta kepada pihak Polda Aceh untuk melakukan penyelidikan mendalam, untuk mengungkap aktor dibalik datangnya ribuan Suku Rohingnya ke Aceh dalam beberapa tahun terakhir, selama ini yang menjadi beban justru masyarakat Ace, dibebankan untuk memberikan fasilitas dan keamanan mereka,” kata Samsul.
Lebih lanjutnya, kata dia, dalam misi yang dijalankan oleh pihak UNHCR, perlu kita duga ada keterlibatan pihak-pihak lain dari masyarakat sipil yang bertindak sebagai penunjuk arah bagi para Imigran yang hendak kabur ke Malaysia melalui jalur darat.
Samsul juga, menambahkan, kelompok perdagangan manusia biasanya terdiri dari jaringan kriminal yang terorganisir dengan baik. Mereka memanfaatkan kerentanan individu, akibat kemiskinan, kurangnya pendidikan, atau situasi konflik di negara mereka tinggal.
Dia menekankan bahwa para imigran sering diiming-imingi dengan janji pekerjaan yang lebih baik atau kehidupan yang lebih baik di negara tujuan yang direkomendasikan oleh para pelaku perdagangan manusia. Namun, tujuan sebenarnya dari para pelaku ini adalah untuk menjerat korban ke dalam jaringan perdagangan manusia demi mencari keuntungan pribadi dan kelompok mereka.
Keterlibatan kelompok ini memang sulit dilacak karena mereka beroperasi dengan cara yang tersembunyi dan menggunakan metode yang canggih untuk menghindari penegakan hukum. Mereka mungkin memiliki koneksi dengan individu dan kelompok mafia perdagangan manusia yang beroperasi di lintas negara.
Lebih lanjutnya, kata dia, Indonesia sendiri tidak menjadi pihak yang menandatangani Konvensi 1951 mengenai Status Pengungsi dan Protokol 1967. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki kerangka hukum yang jelas dalam menangani status dan perlindungan para pengungsi yang mencari suaka.
Untuk itu, upaya yang lebih intensif dan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga internasional, dan LSM, sangat diperlukan untuk memerangi perdagangan manusia dan menghentikan kelompok-kelompok ini. Kerjasama lintas negara dan pertukaran informasi yang efektif akan menjadi kunci dalam mengungkap jaringan perdagangan manusia, demikian keterangannya.
[BHI]