Lobang Tikus Ibarat Harta Karun Tak Berpenghuni, Di Kelola Oleh Oknum Pelaku PETI Yang Kebal Hukum Tanpa Hati Nurani

oleh
oleh
Share artikel ini

Detiknews86.com, Bungo – Penambangan Emas Tanpa Izin ( PETI ) atau yang lebih di kenal dengan sebutan Lobang Tikus atau Lobang Jarum kini menjamur di wilayah hukum Kecamatan Limbur Lubuk mengkuang.

Saat dilakukan penelusuran dilapangan, ada puluhan lobang tikus / lobang jarum dan bahkan ada juga yang menggunakan alat berat excavator sedang aktif beroperasi melakukan penambangan emas ilegal.

Selain dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, juga sangat berdampak pada kesehatan masyarakat akibat dari limbah Mercuri/ air raksa.

Pemerintah daerah dan APH tentunya jangan tutup mata akan permasalahan tambang ilegal ini jangan sampai menimbulkan korban baru akan bertindak.

“tolong tindak tegas aktifitas penambangan emas ilegal ini, sudah sangat banyak yang beroperasi baik menggunakan alat berat maupun dengan cara menggali membuat lobang tikus / lobang jarum. Apa nunggu ada korban dulu, apa nunggu ada bencana dulu baru di tindak. Ucap warga yang enggan disebut namanya

Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.

Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.

Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.

“PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat,” imbuhnya.

Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.

“Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar PETI bersifat asam. Ini berpotensi mencemari air sungai. Bahaya lain yang ditimbulkan PETI adalah batu bara yang terekspos langsung ke permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar berpotensi menyebabkan kebakaran hutan,” pungkas Sunindyo.

Pelaksanaan PETI juga umumnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak terjadi pelanggaran seperti menggunakan peralatan yang tidak standar, tidak menggunakan alat pengamanan diri (APD), tidak adanya ventilasi udara pada tambang bawah tanah, dan tidak terdapat penyanggaan pada tambang bawah tanah

Dalam UU ini diatur mengenai penyempurnaan terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yaitu menambahkan materi muatan baru berupa:
(1) pengaturan terkait konsep Wilayah Hukum Pertambangan;
(2) kewenangan pengelolaan Mineral dan Batubara;
(3) rencana pengelolaan Mineral dan Batubara;
(4) penugasan kepada lembaga riset negara, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha untuk melakukan Penyelidikan dan Penelitian dalam rangka penyiapan WIUP;
(5) penguatan peran BUMN;
(6) pengaturan kembali perizinan dalam pengusahaan Mineral dan Batubara termasuk di dalamnya, konsep perizinan baru terkait pengusahaan batuan untuk jenis tertentu atau untuk keperluan tertentu, serta perizinan untuk pertambangan rakyat; dan
(7) penguatan kebijakan terkait pengelolaan lingkungan hidup pada kegiatan usaha Pertambangan, termasuk pelaksanaan Reklamasi dan Pasca Tambang.

Dalam Undang-Undang ini juga dilakukan pengaturan kembali terkait kebijakan peningkatan nilai tambah Mineral dan Batubara, divestasi saham, pembinaan dan pengawasan, penggunaan lahan, data dan informasi, Pemberdayaan Masyarakat, dan kelanjutan operasi bagi pemegang Kontrak Kerja/KK atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B.
(RHM)