Jakarta – Dalam kurun waktu 5 (tahun) terakhir, kerugian dan kebangkrutan menjadi bagian keseharian yang tidak dilepaskan dari kehidupan peternak mandiri dan peternak rakyat.

Kesulitan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat ini terjadi dimana Kementrian dan Lembaga terkait yang seharusnya melindungi dan mendukung operasional bisnis peternak mandiri dan peternak rakyat tidak melakukan langkah-langkah proaktif untuk mengatasi permasalahan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat.

“Sehingga perusahaan konglomerasi peternakan menguasai industri perunggasan tanpa memberikan peluang bagi peternak kecil untuk mengembangkan usahanya,” ujar Alvino Antonio Warjiantono, Ketua Umum Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) kepada media, usai orasi bersama Sekretariat Bersama Asosiasi Perunggasan di Komnasham, latuhar hari, Jakarta pada Senen (13/3/2023).

Alvino mengatakan, bahwa, kesulitan yang dialami peternak mandiri dan peternak rakyat ini tidak dapat dilepaskan dari langkah dari kebijakan Kementrian/Lembaga terkait, yang mana tidak memiliki orientasi yang jelas untuk melindungi peternak mandiri dan peternak rakyat. Hal ini dapat terlihat dari:

Pertama, Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional tidak memiliki data yang valid mengenai kebutuhan dan konsumsi ayam broiler di Indonesia. Hal ini mengakibatkan supply and demand tidak dapat diproyeksikan secara tepat. Sehingga, di pasaran ketersediaan ayam selalu berlebihan (oversupply).

Kedua, pasokan yang berlebihan (oversupply). Tidak adanya data yang valid mengakibatkan produksi ayam selalu berlebih. Perusahaan integrator yang memiliki modal besar dan lini usaha dari hulu ke hilir sama-sama memproduksi jenis ayam yang sama dengan peternak mandiri dan peternak rakyat. Akibatnya ketersediaan ayam selalu melimpah, sementara permintaan dari konsumen tetap sama. Akibatnya harga jual ayam di pasaran jauh dari Harga Pokok Produksi (HPP)

Ketiga, Pemerintah melalui Kementrian/Lembaga terkait harus bertanggung jawab atas data produksi dan demand ayam, dikarenakan tidak pernah merilis data yang valid yang dapat dijadikan acuan secara tepat mengenai produksi dan kebutuhan ayam secara benar. Kementrian Perdagangan dan Kementrian Pertanian tidak pernah merilis data yang valid dan terpercaya mengenai volume, tingkat pertumbuhan yang akurat dan tepat mengenai produksi ayam di Indonesia. Padahal data ini sangat penting bagi sektor perunggasan di Indonesia.

Keempat, Surat Edaran Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian mengenai afkirparent stock (PS) secara dini dan pemotongan telur bertunas dari ayam ras broiler tidak dilaksanakan efektif. Surat Edaran Dirjen PKH ini diterbitkan dalam rangka mengatur keseimbangan ketersediaan dan kebutuhan DOC FS (day old chicken final stock) ayam ras pedaging. Sehingga, langkah pengurangan populasi pada ayam potong diharapkan dapat menyeimbangkan kembali supply demand yang akan berdampak peningkatan harga jual ayam di pasaran. Oleh karenanya, Surat Edaran ini seharusnya diikuti dengan pengawasan yang ketat sehingga perusahaan pembibitan PS broiler dan perusahaan integrator melaksanakan Surat Edaran tersebut secara konsisten, Namun, faktanya di lapangan, Surat Edaran Dirjen PKH tersebut tidak diikuti dengan pengawasan dan langkah jangka Panjang dengan pemangkasan telur bertunas parents stock yang dapat meningkatkan efektivitas perunggasan.

Kelima, biaya produksi yang lebih besar dari harga jual ayam. Persoalan tingginya harga bahan baku pakan ternak dan juga jagung sebagai bahan baku utama pakan ternak masih mendera peternak ayam. Peternak ayam mandiri dan peternak rakyat harus memperoleh jagung bersaing dengan broker dan perusahaan integrator yang memiliki kekuatan modal yang besar. Situasi ini disebabkan oleh adanya penguasaan di bisnis peternakan mulai dari proses pembibitan, pabrik pakan ternak, produksi obat-obatan dan vitamin ternak, hingga ke proses budidaya ayam konsumsi yang dilakukan perusahaan ayam besar (integrator).

RR.