Sidang Itsbat, Masihkah Relevan? Oleh Muhammad Akhyar Adnan

oleh
oleh
Share artikel ini

Jakarta,Detiknews86.com –

Hari Raya Idul Fitri akan segera tiba. Telah menjadi perdebatan klasik dan panas selama bertahun-tahun tentang bagaimana memutuskan hari atau tanggal yang tepat dari awal Ramadhan sekaligus Idul Fitri (Lebaran).

Secara umum diketahui bahwa pada dasarnya ada dua metode atau pendekatan untuk memutuskan tanggal penting ini. Pertama, dengan menghitung atau katakanlah metode perhitungan (hisab).

Dalam metode ini, tanggal atau hari sepenuhnya tergantung pada perhitungan yang dilakukan berdasarkan ilmu astronomi. Yang kedua adalah dengan cara penglihatan yang juga dikenal sebagai rukyah, di mana tanggal atau hari ditentukan oleh pemandangan atau visi bulan baru atau bulan purnama (hilal).

Jika bulan baru dapat dilihat setelah matahari terbenam pada hari sebelum Ramadhan dan atau Syawal yang diproyeksikan, maka diputuskan bahwa Ramadhan/Syawal akan terjadi pada hari berikutnya.

Jika hilal tidak dapat dilihat, maka ditetapkan bahwa Ramadhan akan selesai selama 30 hari. Atau, Sya’ban atau Ramadhan diperpanjang satu hari lagi.

Dalam kaitan ini setiap kelompok pendukung memiliki alasan yang “kuat” mengapa metode tertentu dipilih dan diterapkan. Kelompok kedua, misalnya, mengacu pada alasan mereka pada hadits yang mengatakan lebih atau kurang: mulai (dan/atau) berhenti berpuasa ketika Anda melihat bulan sabit/hilal.

Sementara kelompok pertama memiliki alasan berikut. Pertama, semangat yang diusung oleh Al-Quran pada dasarnya adalah metode perhitungan, karena Al-Qur’an sendiri menyebutkan beberapa indikator seperti dalam QS Ar-Rahman ayat 5.

Kedua, hadits yang dibahas oleh kelompok kedua pada dasarnya bersifat kontingent. Ini berarti bahwa itu hanya berlaku jika kondisi tertentu terpenuhi. Di antara kondisi-kondisi tersebut adalah bahwa jika masyarakat Muslim tidak memiliki pengetahuan yang cukup sehingga mereka tidak dapat melakukan perhitungan secara ilmiah.

Dalam situasi saat ini, pengetahuan, terutama ilmu astronomi telah berkembang begitu maju. Selain itu, begitu banyak Muslim sekarang memiliki keahlian pengetahuan dan keterampilan khusus ini. Dengan demikian, mereka dapat menghitung dengan benar dan akurat.

Di zaman Nabi Muhammad SAW atau di zaman awal peradaban Islam, mungkin kondisi ini tidak terpenuhi karena pengetahuan dan keterampilan masyarakat Muslim pada saat itu belum berkembang dan hampir tidak satu pun dari mereka telah memperoleh pengetahuan dan keahlian itu dengan baik.

Alasan ketiga adalah bahwa proses rukyah bukanlah kegiatan ibadah. Ini hanya alat, medium atau fasilitas. Alat, media atau fasilitas dapat diubah atau dikembangkan dari waktu ke waktu. Ibadah yang sesungguhnya adalah berpuasa itu sendiri.Tentu saja tidak bisa diubah samasekali.

Alasan keempat adalah bahwa rukyah secara serius menghalangi masyarakat Muslim pada umumnya dalam membuat perencanaan. Seperti yang diketahui, ketika rukyah diterapkan, kepastian awal atau akhir Ramadhan hanya dapat diketahui satu hari sebelumnya.

Sementara jika menggunakan metode perhitungan, semuanya dapat diketahui dengan pasti lama sebelumnya, sehingga seseorang dapat membuat perencanaan dengan tepat.

Alasan kelima adalah bahwa metode rukyah terbatas ruang lingkupnya. Mungkin di daerah-daerah tertentu bulan sabit dapat dilihat, tetapi tidak di daerah lain. Jika setiap orang membatasi diri untuk melihat bulan purnama, maka awal dan akhir Ramadhan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain.

Alasan keenam adalah bahwa rukyat sangat tergantung pada iklim. Di tempat-tempat di mana cuaca jelas dan bersih, mudah untuk melihat bulan sabit. Tetapi, di beberapa tempat lain, di mana cuaca atau iklim mudah berubah, sangat sulit untuk melihat bulan sabit.

Akhirnya, alasan ketujuh, adalah bahwa penetapan hari Arafah menjadi tidak mudah. Hari Arafah adalah saat semua jamaah haji di seluruh dunia harus berkumpul di Padang Arafah sebagai salah satu rukun haji.

Alasan di atas lebih dari cukup untuk berpikir tentang penerapan metode rukyah. Namun, selain alasan-alasan di atas, ada pertimbangan penting untuk kasus Indonesia.

Seperti yang diketahui, proses rukyah membutuhkan beberapa langkah. Pertama, penunjukan 124 titik atau tempat di seluruh negeri untuk melihat bulan sabit (ini tahun 2023). Kita bisa membayangkan berapa banyak orang yang terlibat.

Jika di satu tempat ada 10 anggota tim, maka akan ada setidaknya 1.240 orang yang terlibat secara nasional. Setiap tim harus mengirimkan laporan ke Kementerian Agama (Kemenag).

Tim besar di Jakarta kemudian harus meringkas laporan yang dikumpulkan dari berbagai lokasi nasional. Akhirnya, hasilnya akan diumumkan dalam pertemuan besar lainnya yang dihadiri oleh banyak orang “penting” di Jakarta. Apa implikasi dari kegiatan ini?

Apa lagi selain anggaran besar yang harus disetujui dan akhirnya dikeluarkan. Sampai saat ini belum ada informasi yang terbuka atau diungkapkan oleh Kemenag RI. Perhitungan kasar akan menunjukkan bahwa anggaran untuk kegiatan ini bisa mencapai ratusan juta rupiah atau lebih.

Bahkan mungkin jika anggaran menyentuh sekitar 1 miliar rupiah, per satu kali istbat. Kalau dua kali (awal dan akhir Ramadhan), maka jumlahnya tentu sedikitnya Rp. 2 Milyar

Ketika kita berpikir tentang efektivitas dan efisiensi, dan begitu banyak orang miskin di negara ini, maka sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa pilihan rukyah tidak lagi bijak untuk diteruskan.

Bukankah jauh lebih bermanfaat jika dana yang digelontorkan untuk rukyah selama ini diberikan kepada kaum fakir dan miskin, sedangkan menentukan Ramadhan atau Syawal, cukup pakai hisab. Wallahu a’lam bisshawab.

* Dr. Muhammad Akhyar Adnan, MBA., Ak adalah Penasehat Forum Akademisi Indonesia (FAI), Pengamat Muamalah, Dosen Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Yarsi.

(Smsi pusat)